DISHARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN PERANGKAT DESA



Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. Lembaga Kajian Hukum dan Perburuhan Indonesia  drwahjuprijodjatmiko.com


Nganjuk , Radar merah putih.com Terbitnya Peraturan Bupati Nganjuk (Perbup) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa menimbulkan polemik di masyarakat Nganjuk. Muncul kekhawatiran terkait adanya prosedur yang dilanggar mendorong sebagian masyarakat melakukan uji materiil tentang produk hukum a quo ke Mahkamah Agung (MA). Semestinya pengangkatan perangkat desa diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), bukan dalam Perbup. Kepentingan Perbup dalam ranah pengisian perangkat desa itu adalah  “monev” atau monitoring dan evaluating, yang mengatur tentang pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan sedangkan Perda sebagai implementasi Undang_Undang (UU) berfungsi sebagai peraturan teknis yang mengatur seperti : persyaratan, tata cara dan mekanisme dsb.

Norma dibawah  UU yang mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat  desa yakni PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa, namun kedua dasar hukum tersebut dengan tegas mengamanatkan pengaturan lebih lanjut difasilitasi dalam bentuk Perda Kabupaten/Kota, bukan Perbup.


Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa yang diakomodir dalam bentuk Perbup jelas tidak sesuai dengan amanah peraturan perundang-undangan di atasnya. Berdasar pada  Stufenbau Theory atau teori hukum berjenjang yang dicetuskan oleh Hans Kelsen menegaskan bahwa  norma hukum yang lebih rendah harus berpegangan pada norma hukum di atasnya dan tidak boleh bertentangan. Norma hukum yang terdapat dalam Pasal 65 huruf d PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan terkait adanya syarat  syarat lain mengenai pengangkatan perangkat desa diatur dalam Perda Kabupaten/Kota”. Hal senada juga dapat ditemukan dalam norma yang terkandung pada Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. Pasal 13 secara jelas menyebutkan bahwa berkaitan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian Perangkat Desa ditetapkan dalam Perda Kabupaten / Kota.


Secara sosial filosofis UU Desa beserta Peraturan Pelaksananya bertujuan membentuk self governing communities yakni  suatu pemerintahan yang mandiri berbasis komunitas yang sifatnya otonom. Adapun makna sosial ideologisnya adalah membentuk pemerintahan desa yang kuat, maju dan mandiri demi melayani masyarakat desa untuk mencapai kondisi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera  sesuai perintah Konstitusi Negara. Namun adanya disharmonisasi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan membuat UU Desa kehilangan makna sosial filosofis maupun sosial ideologisnya.

Disharmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini jumlahnya sudah sangat mencemaskan sekali sebagaimana yang dikatakan oleh Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham, Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum. Pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan sering dibuat menggunakan rujukan tata peraturan perundang-undangan yang menguntungkan misinya. Inilah salah satu sebab terjadinya disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Selain itu dangkalnya kajian ilmiah dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan juga menyumbang peran lahirnya peraturan perundang-undangan yang saling bertabrakan dan saling menegasikan baik secara vertikal maupun horizontal. Pada akhirnya disharmonisasi perundang-undangan berpotensi membuat tidak adanya kepastian hukum dan  sangat berpotensi membuka peluang suburnya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  

( Red) .

Post a Comment

0 Comments