( Pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr Wahju Prijo Djatmiko).
NGANJUK, radar merahputih. Com – Pasca pelantikan Kepala Daerah (Kada) yang baru, muncul fenomena yang mengkhawatirkan di berbagai daerah, yakni adanya praktik manipulasi jabatan oleh oknum tertentu. Oknum-oknum ini mengklaim memiliki kedekatan dengan pejabat tinggi dan mulai bergerilya menawarkan reposisi jabatan strategis di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Fenomena ini menjadi perhatian serius karena berpotensi merusak profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) serta mencederai kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Kada yang baru.
Praktik Politik Balas Budi dan Bahaya KKN
Pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr. Wahju Prijo Djatmiko, menyoroti fenomena ini sebagai bentuk praktik politik balas budi yang kerap terjadi pasca Pilkada. Menurutnya, para oknum ini berupaya “menagih” kontribusi yang telah mereka berikan selama proses pemenangan Kada dengan cara menempatkan orang-orangnya di jabatan strategis.
“Praktik semacam ini bukan hanya melanggar prinsip profesionalisme ASN, tetapi juga membuka ruang lebar bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem pemerintahan daerah,” ungkap Wahju dalam wawancara eksklusif.
Hal ini diperparah dengan adanya ASN yang mudah percaya terhadap tawaran promosi jabatan yang tidak sesuai dengan prosedur yang sah. Banyak dari mereka yang tergiur dengan iming-iming posisi strategis, tanpa memahami bahwa mekanisme pengangkatan ASN seharusnya berdasarkan kompetensi dan prestasi, bukan kedekatan politik atau jasa dalam Pilkada.
Sistem Merit: Solusi untuk Manajemen ASN yang Profesional
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, pengangkatan ASN ke jabatan tertentu harus berdasarkan Sistem Merit, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 tentang ASN. Prinsip meritokrasi ini menekankan bahwa seleksi dan promosi ASN harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan karena faktor nepotisme atau kepentingan politik tertentu.
Pasal 26 huruf d UU ASN menjelaskan bahwa pengelolaan SDM dalam pemerintahan harus dilakukan secara adil dan wajar, tanpa membedakan latar belakang suku, ras, agama, maupun faktor lainnya yang tidak berkaitan dengan kompetensi profesional.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak yang salah memahami konsep Sistem Merit. Salah satu kesalahpahaman yang umum terjadi adalah anggapan bahwa lelang jabatan dalam Sistem Merit mirip dengan tender proyek pemerintah, yang membuka celah bagi praktik transaksional dan KKN.
Padahal, dalam konteks ASN, lelang jabatan adalah mekanisme seleksi terbuka yang bertujuan untuk memilih pejabat yang benar-benar kompeten, melalui proses yang transparan dan terukur.
“Seleksi jabatan dalam pemerintahan harus dilakukan secara objektif dan berbasis kompetensi. Jika ada intervensi politik, maka independensi ASN akan hilang, dan pada akhirnya, pelayanan publik yang profesional juga akan terancam,” tegas Wahju.
Aturan Jelas dalam Pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT)
Dalam konteks Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), pengangkatan pejabat harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. JPT sendiri terbagi menjadi tiga kategori, yakni JPT Utama, JPT Madya, dan JPT Pratama, dengan persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh setiap ASN yang ingin menduduki posisi tersebut.
Menurut peneliti dari Lembaga Kajian Hukum dan Publik Indonesia (LKHP Indonesia), Indah Kurnia Oktasari, S.H., dan Nadhila Qisthy Nur Shabrina, S.H., terdapat kualifikasi yang harus dipenuhi oleh setiap calon pejabat JPT, di antaranya:
JPT Utama: Pengalaman jabatan minimal 10 tahun, atau pernah menduduki JPT Madya/Jabatan Fungsional (JF) Ahli Utama selama minimal 2 tahun, dengan usia maksimal 58 tahun.
JPT Madya: Pengalaman jabatan minimal 7 tahun, atau pernah menduduki JPT Pratama/JF Ahli Utama selama minimal 2 tahun, dengan usia maksimal 58 tahun.
JPT Pratama: Pengalaman jabatan minimal 5 tahun, atau pernah menduduki jabatan administrator/JF Ahli Madya selama minimal 2 tahun, dengan usia maksimal 56 tahun.
Aturan ini dibuat agar setiap ASN memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki posisi JPT, tanpa adanya intervensi politik atau transaksi jabatan yang merugikan sistem pemerintahan.
Peran Masyarakat dalam Mengawasi Kebijakan ASN
Selain pemerintah, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi transparansi seleksi ASN. Wahju Prijo Djatmiko menekankan bahwa masyarakat harus lebih kritis terhadap berbagai bentuk manipulasi jabatan yang terjadi di lingkungan pemerintahan daerah.
“Jika ada ASN yang naik jabatan bukan karena kompetensi, tetapi karena hubungan politik, maka masyarakat berhak mempertanyakan dan melaporkan hal tersebut. Ini bukan hanya soal birokrasi, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang bersih dan profesional,” jelasnya.
Di akhir wawancara, Wahju mengimbau agar ASN lebih berhati-hati terhadap tawaran-tawaran yang menjanjikan promosi jabatan secara instan. “Jika promosi jabatan didapatkan dengan cara yang tidak sah, maka pada akhirnya, bukan hanya ASN yang akan dirugikan, tetapi juga masyarakat yang akan menerima dampak buruk dari birokrasi yang tidak profesional.”
Fenomena manipulasi jabatan pasca Pilkada ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Reformasi birokrasi yang berbasis Sistem Merit harus diperkuat agar ASN benar-benar bekerja berdasarkan profesionalisme dan bukan karena kepentingan politik tertentu.
Jika dibiarkan, maka sistem pemerintahan yang seharusnya melayani rakyat akan berubah menjadi ajang transaksi kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir orang. ( Rdks)
0 Komentar